Media Massa dalam Masyarakat Pluralis

Kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam kelompok etnis yang kemudian membawa konsekuensi keragaman budaya. Pemberian apresiasi yang tinggi terhadap keragaman etnis dan budaya karena itu menjadi hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Dalam hubungan ini media massa dapat berperan dalam membantu upaya apresiasi ini demi tetap mejaga kesatuan dan persatuan bangsa. Kendati demikian, sesuatu yang sering muncul adalah keluhan bahwa apresiasi yang ada seringkali cenderung tidak memadai. Media massa terkesan lebih banyak mengejar kepentingannya sendiri terutama yakni meraih rating dan/atau peningkatan pemasukan iklan dibanding dengan banyak berpartisipasi dalam upaya ini. TVRI dapat dikatakan menjadi tumpuan harapan dalam hal ini karena TVRI merupakan bentuk lembaga penyiaran public (public broadcasting television). Akan tetapi TVRI sejauh ini mengalami banyak kendala terutama bersumber pada persoalan tehnologi.

Kajian ini mengambil titik berat bagaimana pada kenyataannya media massa bekerja dalam konteks masyarakat pluralis. Setelah contoh-contoh kasus yang terjadi di berbagai masyarakat/negara lain dutunjukkan maka kajian diarahkan kepada apa yang terjadi di Indonesia. Peneliti mencermati berbagai tayangan televisi serta media cetak suratkabar dan majalah untuk kepentingan ini. Analisis media digunakan untuk sampai pada kesimpulan bersifat interpretif terhadap sajian-sajian media khususnya yang berkenaan dengan yang terjadi di Indonesia. Untuk hal-hal berkenaan dengan yang terjadi di bangsa-bangsa lain peneliti lebih bertumpu pada berbagai sumber-sumber literatur dan artikel jurnal.

Masyarakat pluralis dan media massa
Media massa dalam masyarakat pluralis (secara etnis dan budaya) menghadapi beberapa tantangan, baik dalam hal penyebar-luasan informasi kepada khalayak (berita) maupun dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini (informasi dan citra) media massa bekerja dan mengembangkan wacana. Dalam hubungan ini pengembangan wacana oleh media massa dapat diamati melalui cara-cara bagaimana bentuk-bentuk isi media seperti berita, film, soap opera, musik, sinetron, dan laporan perjalanan dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang dalam konteks masyarakat pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti suku bangsa, budaya, dan agama.

Gray (2002:439-461) dalam kaitan ini menawarkan tiga jenis kharakter wacana yang dapat dikembangkan oleh media massa dalam masyarakat pluralis, terutama media televisi, yakni meliputi asimilasi, pluralis, dan multikulturalisme. Pengembangan wacana dengan kharakter asimilasi pada dasarnya menempatkan isu-isu sensitif seperti suku, agama, dan budaya sebagai persoalan individu yang tidak seharusnya memperoleh penonjolan di medi massa. Persoalan-persoalan yang lebih bersifat politis dan kompleks berkenaan dengan hal-hal di atas serta hal-hal lain seperti gender dan kelompok-kelompok kekuatan dalam masyarakat ditempatkan sebagai produk prasangka sosial (prejudice) dan egoisme sosial. Muatan isi media yang mengembangkan wacana dengan kharakter asimilasionis, seperti dikatakan oleh Gray, biasanya kental bernuansakan “marginalization of social and cultural difference in the interest of shared and universal similarity” (marginalisasi perbedaan kharakter sosial dan kultural seraya mengedepankan persamaan-persamaan yang ada serta kharakter universal). Isi media yang lebih mempromosikan asimilasi, karena itu, biasanya dikonstruk dengan memberikan penonjolan terhadap lambang-lambang serta simbol-simbol yang menandai kesamaan dan/atau sifat universal serta mengelakkan signifikasi perbedaan ras dan/atau warna kulit serta perbedaan-perbedaan lainnya.

Sangat berbeda dengan asimilasi, isi media yang memiliki orientasi lebih mengembangkan  wacana dengan kharakter pluralis (separate-but-equal) justru sangat ditandai oleh penonjolan terhadap perbedaan yang ada, terutama suku bangsa (race),  sebagai basis dari adanya perbedaan budaya yang ada. Perbedaan ini dinyatakan secara eksplisit sebagai hal yang memang berbeda yang karenanya seharusnya diterima sebagai suatu kewajaran. Kalangan pendukung wacana pluralis pada umumnya berpandangan bahwa kalau memang keanekaragaman etnis dan budaya diakui sebagai sesuatu yang memang ada maka tidak selayaknya media massa menutup-nutupi kenyataan ini dan selayaknya memberikan apresiasi terhadapnya dengan memberikan tempat secara wajar bagi semua etnis dan budaya yang ada.  Kendati demikian, sebagaimana kharakter wacana asimilasi, muatan media dalam kharakter pluralis ini seringkali dikritik sebagai cenderung mengabaikan konteks sosial dan historik di dalam mana perbedaan-perbedaan dinyatakan, dipertahankan, dan dianggap penting atau bermakna.
Isi media dengan kharakter lebih banyak mengembangkan wacana multikulturalisme dalam pada itu sangat menonjolkan konstruksi dan posisioning nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya berbagai kelompok etnik yang ada. Nilai-nilai universal seperti mobilitas sosial, individualisme, dan pemberian semacam “privilege” terhadap kelas menengah kalangan-kalangan yang dianggap minoritas (atau mungkin dimarjinalkan) lebih memperoleh tempat dalam tayangan dengan kharakter multikuturalisme. Perihal yang bersifat ideal dari golongan (ethnis dan budaya) yang memegang hegemoni justru cenderung tidak memperoleh penonjolan.
Konsep multikulturalisme (multiculturalism) mulai banyak digunakan terutama menjelang akhir dekade 1980-an untuk menunjuk jenis tertentu dari kemajemukan budaya (cultural pluralism), yakni kemajemukan budaya yang lebih memberikan penekanan kepada kecenderungan inklusif serta pemberdayaan kelompok-kelompok minoritas dalam segala aspek kehidupan. Berbeda dengan kemajemukan budaya yang didengungkan di awal abad ke-20 oleh sebagian kalangan sosiolog Barat demi merespon membanjir serta berkembangnya kaum pendatang (migrant), paham multikulturalisme dikembangkan oleh para aktivis budaya minoritas untuk membenahi pola-pola eksklusif dan tidak adil yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia (Repstein, 1998:599-602; Greebaum, 1994:1179-1187).
Dalam kaitan ini pemberian penekanan terhadap inklusifitas serta pemberdayaan kelompok minoritas mengimplikasikan kecenderungan sikap-sikap serta perilaku akomodatif pada kelomppk-kelompok etnis dan/atau budaya yang berbeda-beda dalam suatu kebersamaan wadah dan kerangka negara-bangsa (nation state). Akomodasi (accommodation) karena itu merupakan kata kunci dalam multikulturalisme. Di dalam banyak kenyataan empirik, implementasi kebijakan politik terkait dengan upaya mendorong proses-proses akomodasi yang lembut (smooth) nyaris senantiasa menghadapi kendala-kendala yang terutama bersumber pada kecenderungan hegemonik dari atau oleh kelompok etnis dan/atau kultur yang dominan di satu sisi serta kecemburuan (prejudice) oleh kelompok etnis dan budaya yang termarginalkan di sisi lain. Media massa dalam kaitan ini seringkali, walau tidak selalu, terjebak pada bias kelompok dominan dalam mengamplifikasi peristiwa atau isu-isu yang melibatkan sensitifitas perbedaan etnik dan budaya.

Kasus di beberapa negara
Kasus di Amerika
Gray (2002:452-454) mengamati bahwa berbagai tayangan televisi Amerika jarang sekali, kalaupun harus dikatakan ada, yang berisi kritik terhadap kalangan pemegang hegemoni warga kulit putih. Warga Amerika kulit berwarna, terutama warga kulit hitam, nyaris selalu ditempatkan sebagai fihak yang salah dan jahat. Dalam hubungan ini, tayangan seperti The Cosby Show, misalnya, terkesan lebih merupakan upaya mempromosikan nilai-nilai ideal mengenai Amerika dan/atau bagaimana selayaknya menjadi orang Amerika dan hal ini berbeda jauh dengan realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari di Amerika. Terdapat kesan dalam hubungan ini bahwa The Cosby Show lebih memberi penekanan pada wacana asimilasi dibandingkan dengan pluralis atau multikulturalisme.
Sudah sangat sering dikemukakan pandangan kritis terhadap film-film produksi Amerika bahwa pahlawan (hero) nyaris senantiasa dibawakan oleh orang kulit putih yang berhadapan dengan musuh (enemy) yang dibawakan oleh orang kulit hitam yang berperan sebagai penjahat yang akhirnya dihancurkan/dikalahkan oleh hero kulit putih. Banyak film yang dibintangi baik oleh Arnold Schwarzenegger maupun Sylvester Stallone menggambarkan hal demikian. Dalam kaitan ini menarik sekali untuk dikemukakan pengamatan Alvarado (1987) sebagaimana dikutip oleh Jones dan Jones (1999:122) bahwa kalangan minoritas kulit hitam di Amerika nyaris senantiasa dipandang sebagai orang aneh oleh orang-orang kulit putih. Acara ritual orang-orang kulit hitam, cara berpakaian, bahasa, menu makanan, serta artefak mereka cenderung dipandang eksotik dan tidak dipandang sebagai bagian dari kompleksitas keragaman budaya masyarakat atau bangsa Amerika. Media massa di Amerika cenderung mengekalkan pandangan demikian terutama karena media massa di sana pada umumnya dimiliki oleh orang-orang kulit putih.

Kasus di Inggris
Sebagaimana masyarakat Amerika, masyarakat Inggris terbangun dengan kharakter pluralitas etnik dan budaya yang sangat beragam: orang kulit putih Anglo Saxon, orang-orang migran dan/atau keturunan dari Asia (terutama India dan Pakistan), orang-orang kulit hitam dari Afrika, dan sebagian dari kawasan lain termasuk Timur Tengah. Hal demikian secara signifikan menghadapkan masyarakat Inggris secara keseluruhan pada persoalan pluralitas etnis dan budaya yang, setidaknya untuk beberapa hal, Inggris nampaknya lebih berhasil dibandingkan dengan Amerika. Sikap-sikap akomodatif nampaknya lebih menonjol di Inggris ketimbang di Amerika yang sangat dikenal mengedepankan penggunaan kekuatan militer untuk mencapai penyelesaian konflik. Kecenderungan akomodatif ini nampak misalnya dengan dibukanya Puri Windsor (tempat kediaman Ratu Inggris) untuk kepentingan sholat dan membaca al-Qur’an selama bulan Ramadhan 1427H (Jawa Pos, 4 Oktober 2006:1).
Kendati demikian menarik sekali studi yang dilakukan oleh Richardson (2001:221-242) yang menemukan kenyataan bahwa secara umum pers di Inggris sangat ditandai oleh tidak munculnya pemberitaan tentang orang-orang muslim kecuali orang-orang muslim yang melakukan tindak kejahatan. Kemudian kalaupun orang muslim di Inggris muncul dalam pemberitaan yang berkonotasi positif maka orang-orang muslim ini biasanya hanya ditampilkan sebagai partisipan saja dan bukan sebagai sumber pokok pemberitaan. Temuan Richardson selanjutnya adalah bahwa isu-isu serta minat-minat kalangan muslim di Inggris nyaris tidak pernah menjadi agenda bagi pemberitaan pers. Kenyataan demikian membuktikan bahwa dalam tingkat masyarakat kecenderungan-kecenderungan akomodatif lebih sulit terjadi dibandingkan dengan di tingkat pemerintah, setidaknya yang menyangkut beberapa hal.
Kenyataan lain yang terjadi di Inggris adalah bahwa baik film komidi Mr Bean maupun film James Bond yang diproduksi begitu banyak (berseri-seri) ternyata relatif jarang, walaupun seringkali ada, melibatkan tokoh penting yang diperankan oleh orang bukan kulit putih.

Kasus Australia
Ada kesan kuat bahwa dalam konteks yang terjadi di Australia, khususnya di tingkat masyarakat, multikulturalisme yang dikembangkan terkesan lebih berorientasi pada orang kulit putih Eropa (white European Anglo Saxon). Tayangan televisi baik film, soap opera, maupun musik sangat kelihatan didominasi oleh orang-orang kulit putih walaupun SBS lebih bervariasi dibandingkan televisi lain bahkan termasuk ABC sekalipun yang merupakan public broadcasting television. Kepentingan golongan ethnis lain seperti Asia (misalnya China dan India) terkesan kurang memperoleh amplifikasi media massa, kecuali barangkali televisi SBS. Upaya-upaya mengangkat budaya oborigin, kalaupun harus dikatakan ada, dapat dikatakan bersifat bias peran dan/atau kepentingan golongan kulit putih.
Memang terdapat advokasi terhadap golongan ethnis minoritas di Australia; akan tetapi ketika terjadi konflik maka amplifikasi media yang nampak lebih menonjol adalah pembelaan oleh dan untuk kalangan kulit putih yang memegang hegemoni. Modus dari upaya menyembunyikan isu-isu sensitif berupa konflik kepentingan yang melibatkan etnis kulit putih yang mayoritas dengan etnis minoritas (termasuk aborigin) biasanya berupa tayangan tentang apa (baca: jasa-jasa) yang telah dilakukan oleh orang-orang kulit putih di masa lampau dan di masa sekarang. Ketika isu “the stolen generation” meledak di tahun 2000, misalnya, debat publik memang difasilitasi oleh media massa, termasuk pers. Kendati demikian senantiasa ada pembenaran bagi langkah-langkah yang dilakukan oleh kalangan kulit putih walaupun memang tidak ada amplifikasi yang mempersalahkan kalangan aborigin.
SBS menyiarkan paket tayangan Global Village yang berisi semacam laporan perjalanan atau film dokumenter mengenai berbagai ragam budaya yang unik yang terdapat di berbagai belahan dunia. Dapat dikatakan bahwa tayangan ini memiliki nilai fungsional memberikan cakrawala pemahaman (understanding) terhadap keanekaragaman etnis dan budaya berbagai masyarakat di berbagai belahan dunia karena memang mengangkat atau memberikan amplifikasi berbagai kelompok etnik dan budaya masyarakat di berbagai penjuru dunia. Kendati demikian tayangan ini kadangkala terkesan merepresentasikan sisi-sisi keterbelakangan etnik dan budaya yang ditayangkan sehingga tayangan ini kerapkali terkesan mirip dengan catatan perjalanan orang-orang Barat di abad ke- 17 sampai 19 ketika mereka berlayar menjelajah dan kemudian menjajah dunia Timur  termasuk Indonesia.

Kasus Indonesia
Di Indonesia media massa terkesan sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan yang menyangkut suku, ras dan agama terutama di masa Orde Baru. Pada periode ini pemberitaan dan/atau penyiaran paket hiburan yang memiliki nuansa konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) tidak diperkenankan. TVRI sebagai lembaga penyiaran yang secara konsisten bertindak sebagai aparatus ideologi pemerintah banyak menyiarkan aneka ragam budaya yang terdapat di seluruh penjuru tanah air, terutama musik dan tari dalam kerangka menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Sampai tahap ini TVRI dikesankan oleh publik lebih sebagai corong pemerintah sekaligus alat hegemoni etnis dan budaya dominan yakni etnis dan budaya Jawa. Paket acara wayang kulit, wayang orang, ketoprak, dan pentas lawak Srimulat dapat disebut sebagai ikon hegemoni termaksud.
Kemudian ketika menginjak periode Reformasi maka segalanya lalu menjadi leluasa sehingga pemberitaan mengenai konflik antar etnik di Kalimantan yang melibatkan suku Dayak dan Madura begitu vulgar termasuk pemuatan foto-foto korban mulitasi. Pada periode ini TVRI (dan juga RRI) cenderung mengambil posisi tidak berseberangan dengan pemerintah, tetapi sekaligus juga berusaha untuk tidak terkesan melulu menjadi pembela pemerintah, dalam menyiarkan berbagai paket acara berita dan hiburan. Dalam kaitan ini paradigma pemikiran yang dianut adalah tetap menjunjung tinggi tugas menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sehingga relatif berhati-hati dalam memberitakan kasus-kasus konflik.
Berkenaan dengan paket hiburan dan acara lain dalam kaitan dengan pluralitas etnis dan budaya TVRI mengupayakan reaktualisasi kemajemukan secara lebih proporsional. Dalam kaitan ini kecenderungan terlalu berkharakter asimilasi cenderung dikurangi serta kemudian diupayakan penambahan unsur-unsur yang bernuansa pluralis dan kadangkala juga multikulturalis. Hal demikian nampak misalnya melalui amplifikasi yang ekstensif terhadap budaya daerah di luar Jawa sementara tayangan wayang kulit, ketoprak, dan wayang orang dikurangi.
Menginjak periode Reformasi dan sesudahnya nampaknya memang terjadi perubahan-perubahan yang relatif signifikan. Stasiun televisi swasta dalam situasi sekarang semakin menambahkan unsur-unsur dalam kharakter pluralis dan multikulturalis termasuk misalnya sinetron Si Entong, Emak Gue Jagoan, dan paket tayangan sekitar tahun baru Imlek. Dalam pada itu penayangan Megalitikum Kwantum (TV 7) merupakan langkah besar karena ia merupakan karya yang bersifat avangarde berupa pentas musik dan tari superkolosal.  Pentas dan penayangan Megalitikum Kuantum 2005 ini dirancang dengan maksud untuk menggugah optimisme dan semangat kebangsaan dengan menampilkan secara harmonis musik dan tari yang pernah berkembang di seluruh penjuru tanah air secara lintas waktu sebagai kekayaan budaya bangsa. Pentas budaya Megalitikum Kuantum 2005 ini dengan demikian dapat diharapkan membawa dampak  tumbuhnya rasa optimis seluruh warga bangsa dalam menatap masa depan untuk kehidupan yang lebih baik (Sukardi Rinakit (2005:7).
Sebagai suatu lembaga penyiaran publik TVRI nampaknya memang memikul tugas berat: mempromosikan keragaman etnis dan budaya demi memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa sekaligus juga harus bersaing dengan lembaga penyiaran privat (private broadcasting television). Blumer dan Hoffmann-Reim (2002:201-210) dalam kaitan ini menyarankan bahwa peran baru lembaga penyiaran publik (public boardcasting) selayaknya bertolak dari pertimbangan-pertimbangan prioritas ketika harus berkompetisi dengan lembaga penyiaran komersial.

Dalam kaitan ini terdapat tiga level prioritas yang selayaknya dipertimbangkan, yakni prioritas jenis acara, target khalayak, dan prioritas-prioritas kualitatif lainnya. Prioritas program yang menjadi pertimbangan bagi lembaga penyiaran publik adalah kalau televisi komersial lebih memilih prioritas acara-cara hiburan dan berita-berita yang topikal maka televisi publik selayaknya memprioritaskan jenis acara dokumenter, pendidikan, pentas seni, dan ilmu pengetahuan. Kelemahan pemilihan prioritas ini terletak pada kurangnya pemenuhan kebutuhan khalayak akan hiburan sementara khalayak menonton televisi pada umumnya untuk kepentingan memperoleh hiburan.

Prioritas target mempertimbangkan perihal siapa sebenarnya yang lebih hendak dituju dengan penyiaran-penyiaran yang diselenggarakan; kalau televisi swasta lebih memprioritaskan acara-acara yang membutuhkan appeal terhadap khalayak luas terutama sehubungan dengan acara-acara yang disertai iklan atau sponsor maka televisi publik dapat memilih prioritas target kalangan minoritas. Amplifikasi terhadap budaya Tionghwa dan Arab di samping unsur-unsur budaya berbagai etnis kepulauan di Indonesia sudah tentu menjadi kebutuhan mendesak. Prioritas target ketiga, yakni mempertimbangkan prioritas selain dua hal di atas yang pada dasarnya memilih dengan pertimbangan kultivasi dan reputasi bagi asesibilitas terhadap minat-minat dan kebutuhan-kebutuhan publik. Hal ini berarti, untuk konteks Indonesia juga meniscayakan pemberian ekspose secara relatif proprosional terhadap budaya dominan karena televisi publik jenlas bukan media komunitas dan juga bukan aparatus ideologi untuk kelompok-kelompok perlawanan.

Catatan penutup
Sebagai catatan penutup dikemukakan penegasan di sini bahwa ke depan media massa di Indonesia harus menemukan format ideal bagi komposisi muatan atau isi media (media content) kalau memang bermaksud hendak mengambil tanggungjawab membantu memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dalam bentuk apresiasi yang tinggi terhadap keanekaragaman etnis dan budaya. Upaya pengembangan wacana asimilasi, kalaupun masih harus dinilai menjadi prioritas agenda bagi industri media terutama sekali media televisi, selayaknya diperkaya dengan nuansa-nuansa pluralis dan multikulturalis. Mencermati semakin maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang korban utamanya adalah perempuan, misalnya, dan juga maraknya tindak kriminal termasuk pencopetan maka nuansa pluralis dengan memberikan amplifikasi kepada ketegaran dan kegagahan perempuan barangkali masih sangat dibutuhkan.

Selanjutnya penonjolan sifat-sifat inklusifitas, toleransi dan kerjasama selayaknya nampak pada paket tayangan televisi kita sekarang dan akan datang. Harus dikemukakan bahwa sinetron yang sekarang banyak disiarkan oleh televisi swasta sangat didominasi oleh kharakter intoleran, balas dendam, watak curang dan suka membuat rekayasan kejahatan yang ditujukan kepada orang lain. Nilai-nilai keutamaan akhlak atau budi pekerti seperti sifat suka kerjasama dan tolong-menolong dan mengasihi sesama kurang memperoleh penonjolan. Paket tayangan seperti Jejak Petualang dan Labtop Si Unyil sangat membantu mengisi kekosongan berkaitan dengan hal ini.

Daftar Pustaka

Blumer, Jay G. and Wolfgang Hoffmann-Reim, “New Roles for Public Service
Television” dalam Denis McQuail, 2002, McQuail’s Reader in Mass
Communication Theory, London: Sage Publications.
Greenbaum, Susan D., ”Multiculturalism” dalam Susan Averbach (ed). 1994.
Encyclopedia of Multiculturalism Vol. 4. New York: Marshall Cavendish.
Jones, Marsha and Emma Jones. 1999. Mass Media. London: Macmillan Press Ltd. Repstein, Arthur, 1998, “Multiculturalism” dalam Edwarg Craig (gen. ed.).
Routldge Encyclopedia of Philosophy Vol. 6. London: Routledge.
Richardson, John E. ,”British Muslim in the Broadsheet Press: a challenge to cultural
hegemony?”, Journalism Studies Vol 2 No. 2, 2001.
Rinakit, Sukardi, “Politik Megalitikum Kuantum”, Kompas 2 Juli 2005.